Tuesday, 5 March 2013

Si Utuy Belum Nikah...Ndeso!!

Benarlah apa yang diperbincangkan warga GMG beberapa waktu terakhir ini. Sekarang semua orang bisa menerka, mengapa Utuy tak kunjung kawin. Entah memperlambat atau memang Utuy sudah tidak doyan wanita, saking sufistiknya dia. Dia cuma ingin cintanya dipersembahkan hanya untuk Tuhannya, bukan untuk wanita. Sekalipun wanita itu cantik, bahenol, tajir, atau malah sekalian satu paket dengan “keshalihan”. Bukannya semua lelaki mendambakan itu?
Makin lama, paras memang tak bisa dibohongi. Utuy jadi makin mirip om-om kesepian. Pagi hari ia harus bangun sendiri. Melipat selimut, membenahi kasur sendiri. Masak sendiri. Cuci baju sendiri. Meracau sendiri. Ngedumel sendiri. Bikin kopi sendiri. Belum lagi kalau rhematiknya kambuh. Siapa yang akan mijitin dia. Seharusnya ada tangan lembut yang bisa menyembuhkan tanpa harus nelen obat. Yang dengan penuh kasih sayang menanyakan,”Mas Utuy, mau adinda belikan buah apa. Atau mau adinda bikinkan apa, supaya Mas Utuy bisa lekas sehat kembali”.
Apalagi musim pancaroba begini. Angin bukan hanya masuk lewat bilik, tapi juga ketiaknya Utuy. Tiap hari, Utuy diserang berupa-rupa penyakit. Kalau sudah begini, Utuy hanya bisa berdzikir, sambil hatinya bernyanyi ”Setiap keindahan, yang tampak oleh mata. Itulah perhiasan dunia. Namun yang paling indah…istri yang shalihah” sambil memegang cambangnya yang makin hari makin mirip Rhoma Irama itu. Kalau sudah kumat begini, warga GMG biasanya tertawa ngakak dari balik lobang pintu, memandangi Utuy dengan kesendiriannya.
Salahnya sendiri dia tidak mau nakal sedikit. Hidupnya terlalu lurus. Sedikit-sedikit haram. Sedikit-sedikit tidak ahsan. Padahal Utuy kurang tampan bagaimana. Sudah ada puluhan wanita sempat menaruh harapan padanya. Mulai wanita-wanita kantoran, sampai mbok-mbok tukang jamu yang biasa jadi langganan Utuy beli beras kencur.
Coba dia lebih liberal sedikit. Bukan hanya satu-dua perempuan dewasa bisa dia sikat, tapi juga anak ABG pun bisa saja dia kibuli. Kesempatan itu bukannya tidak ada. Tapi Utuynya saja yang memagari diri. Ia terlalu konservatif. Hardliner.
Utuy bukannya tidak punya rasa kasih sayang, perhatian, atau semacamnya, tapi ia memang memilih memilah-milah. Coba lihat saja, kalau ada bayi lewat di depan matanya. Ia pasti bilang “Subhanallah, lucu banget ya bayi itu”. Bayi itu langsung digendongnya. Dielus-elus. Dicium-ciumi. Dinina-bobokan. Pokoknya, dia kelihatan sudah pantas jadi bapak.
Tapi apa kata orang-orang?
Sssttt…eh, eh, eh. Tuh lihat tuh. Benar kan yang saya bilang. Utuy pedofili.” Ujar para tetangga di forum ngerumpi.
Menjadi bujang lapuk, memang menimbulkan dilema. Tapi pilihan Utuy untuk tetap menjaga dirinya dari pengaruh negatif pergaulan bebas, justru lebih menimbulkan pro-kontra. Utuy pernah teringat, kawannya bilang “Sayang Tuy, lu masih muda. Manfaatkan aja.”. Maksud kawannya Utuy, mumpung masih muda, kenapa kita malu-malu berbuat hal-hal yang “menyenangkan”. Nanti kalau sudah tua, baru kita tobat.
Kalau Utuy sedang meronda keliling Jakarta, berpapasan dengan muda-mudi yang asyik menyelami pasangan mereka masing-masing, berangkulan mesra, tukar menukar jigong, saling pegang daerah istimewanya, Utuy langsung beristighfar. “Ya Rabb, semoga saya selalu bisa berkhusnudzon bahwa muda-mudi itu adalah pasangan suami-istri yang sah”.
Pertama, karena tindakan itu hanya pantas dilakukan suami-istri. Kedua, biarpun begitu, tetap saja tidak boleh dilakukan secara vulgar di depan umum. Ketiga adalah kemungkinan terburuk. Kalau seandainya mereka bukan pasangan suami-istri, alangkah kasihannya nanti para suami dan istri mereka mendapati pasangannya ternyata “segel”-nya sudah pernah dibuka orang.
Utuy pun melihat, ada kecenderungan permisif di kalangan bangsa Indonesia. Ada artis porno dari luar negeri, tidak diapa-apain. Ada penyanyi vulgar, artis vulgar, dan lain-lain dianggap biasa saja karena bagian dari seni. Seni yang berarti kebebasan berekspresi. Kebebasan yang berarti bertindak semau gue. Yang berarti juga menindas hak-hak orang lain.
Lalu, Utuy juga tidak paham, apa variabel-variabel yang membatasi kebebasan itu sendiri. Apakah berarti kebebasan itu juga bermakna sebebas-bebasnya sehingga tidak ada lagi ruang bagi privasi itu sendiri. Tidak ada lagi nilai yang mengikat. Tidak ada lagi kriteria yang menghakimi suatu tindakan itu terpuji atau tidak. Kalau begitu caranya, apa tidak akan menimbulkan chaos sebab orang punya penafsiran sendiri-sendiri tentang kebebasan.
Orang jadi bebas buka-bukaan di depan umum. Katanya seni. Orang jadi bebas misuh-misuh/mengumpat/menganjing-anjingkan orang lain atas dasar kebebasan berekspresi, kebebasan mengungkapkan curahan hatinya yang paling dalam.
Dulu, ada muda-mudi jalan berdua di tempat sepi, sudah digrebek warga. Mereka diinterogasi di pos kamling bersama penonton satu kampung. Walau ternyata setelah ditelisik, kedua muda-mudi itu saudara kandung. Dulu wanita menunduk kalau berjalan. Takut sorot matanya melunglaikan seorang pria. Tapi sekarang, bukan hanya matanya yang kedap-kedip, tapi dadanya, bokongnya, betisnya, tambah dipajang supaya dilihat. Dulu kumpul kebo itu memalukan sekali. Sekarang biasa saja. Malahan sekarang banyak yang senang ”kumpul” dengan kebo beneran.
Dalam budaya liberal, semua jadi hak asasi. Jadi kalau seandainya Utuy nyicipi adiknya Kiblay yang cantik itu, asal sama-sama suka, itu dibilang hak asasi. Jadi, hak asasi sudah bukan berarti membela yang tertindas, tapi sudah menindas orang lain. Atas nama hak asasi, semua orang boleh saja menabrak social values.
Kalau sudah begini, kita bisa apa?
Bukan lantas era globalisasi menghendaki hidup bangsa ini menjadi westernized. Konon kabarnya, kalau gaya penampilan sudah berbau-bau Eropa, berarti sudah modern. Padahal kan di Eropa juga banyak ndeso-nya. Jangan kira di Amerika sono, hanya ada orang kaya saja. Di sana, gembel seperti Utuy bukan main banyaknya. Bahkan lebih gembel ketimbang gembel Indonesia.
Utuy pernah mendengar salah satu kawan sepergembelannya yang pernah dinas ke Eropa. Di Eropa sana, orang biasa tukar-menukar pasangan. Utuy sempat shock, ketika kawan gembelnya bercerita bahwa suami di sana sukarela “menggilir” istrinya untuk orang lain. Begitu juga istri mereka, bisa-bisa kita juga dapat ”giliran”. Utuy dalam hati nyeletuk ”Ini sama saja Piala Eropa yang diperebutkan bergilir”. Lah kok tega-teganya para suami itu. Apa mereka tidak sayang istri mereka?
”Apa ini yang namanya kebebasan?” Utuy berteriak dalam hati. Tubuhnya bergidik seperti habis melihat kuntilanak main ayunan di depan taman kompleks GMG. Ia menangis tersedu-sedu. Ia bertekad, tak akan beristri yang segelnya sudah rusak. Ia mau mencari tambatan hari yang bisa qurrota ’ayuni. Sejuk dipandang, damai di hati.
Dalam masyarakat sekuler, agama jadi urusan masing-masing. Itu terserah pandangan mereka. Dalam benak orang liberal, batasan tidak boleh mengekang atau mendzhalimi. Bahkan mereka jelas-jelas memplesetkan ayat Tuhan bahwa agama rahmat bagi semesta alam. Berarti rahmat bagi para lesbi, bagi para gay, bagi para suami yang hobi selingkuh, bagi para muda-mudi yang menjual harga dirinya, bagi para bandit, para pencoleng para koruptor…Itu juga terserah pandangan mereka.
”Masya Allah. Ya Rabb. Biarkan aku dikatakan ndeso, kampungan, konservatif, tidak modern, terbelakang, asalkan Engkau menjaga hatiku tetap lurus kepada-Mu ya Rabb. Dengan beribadah saja pun, aku tak yakin mampu menembus Syurga-Mu. Apalagi kalau ditambah bermaksiat. Pastilah aku lebih dekat pada neraka-Mu.”
”Ampuni aku Ya Rabb” wajah Utuy menunduk. Matanya berkaca-kaca.

No comments:

Post a Comment