Benarlah apa yang
diperbincangkan warga GMG beberapa waktu terakhir ini. Sekarang semua
orang bisa menerka, mengapa Utuy tak kunjung kawin. Entah memperlambat
atau memang Utuy sudah tidak doyan wanita, saking sufistiknya dia. Dia
cuma ingin cintanya dipersembahkan hanya untuk Tuhannya, bukan untuk
wanita. Sekalipun wanita itu cantik, bahenol, tajir, atau malah sekalian
satu paket dengan “keshalihan”. Bukannya semua lelaki mendambakan itu?
Makin lama, paras memang tak bisa dibohongi. Utuy jadi makin mirip
om-om kesepian. Pagi hari ia harus bangun sendiri. Melipat selimut,
membenahi kasur sendiri. Masak sendiri. Cuci baju sendiri. Meracau
sendiri. Ngedumel sendiri. Bikin kopi sendiri. Belum lagi kalau rhematiknya kambuh. Siapa yang akan mijitin dia. Seharusnya ada tangan lembut yang bisa menyembuhkan tanpa harus nelen
obat. Yang dengan penuh kasih sayang menanyakan,”Mas Utuy, mau adinda
belikan buah apa. Atau mau adinda bikinkan apa, supaya Mas Utuy bisa
lekas sehat kembali”.
Apalagi musim pancaroba begini. Angin bukan hanya masuk lewat bilik,
tapi juga ketiaknya Utuy. Tiap hari, Utuy diserang berupa-rupa penyakit.
Kalau sudah begini, Utuy hanya bisa berdzikir, sambil hatinya bernyanyi
”Setiap keindahan, yang tampak oleh mata. Itulah perhiasan dunia. Namun
yang paling indah…istri yang shalihah” sambil memegang cambangnya yang
makin hari makin mirip Rhoma Irama itu. Kalau sudah kumat begini, warga
GMG biasanya tertawa ngakak dari balik lobang pintu, memandangi Utuy dengan kesendiriannya.
Salahnya sendiri dia tidak mau nakal sedikit. Hidupnya terlalu lurus.
Sedikit-sedikit haram. Sedikit-sedikit tidak ahsan. Padahal Utuy kurang
tampan bagaimana. Sudah ada puluhan wanita sempat menaruh harapan
padanya. Mulai wanita-wanita kantoran, sampai mbok-mbok tukang jamu yang
biasa jadi langganan Utuy beli beras kencur.
Coba dia lebih liberal sedikit. Bukan hanya satu-dua perempuan dewasa bisa dia sikat, tapi juga anak ABG pun bisa saja dia kibuli. Kesempatan itu bukannya tidak ada. Tapi Utuynya saja yang memagari diri. Ia terlalu konservatif. Hardliner.
Utuy bukannya tidak punya rasa kasih sayang, perhatian, atau
semacamnya, tapi ia memang memilih memilah-milah. Coba lihat saja, kalau
ada bayi lewat di depan matanya. Ia pasti bilang “Subhanallah, lucu banget
ya bayi itu”. Bayi itu langsung digendongnya. Dielus-elus.
Dicium-ciumi. Dinina-bobokan. Pokoknya, dia kelihatan sudah pantas jadi
bapak.
Tapi apa kata orang-orang?
“Sssttt…eh, eh, eh. Tuh lihat tuh. Benar kan yang saya bilang. Utuy pedofili.” Ujar para tetangga di forum ngerumpi.
Menjadi bujang lapuk, memang menimbulkan dilema. Tapi pilihan Utuy
untuk tetap menjaga dirinya dari pengaruh negatif pergaulan bebas,
justru lebih menimbulkan pro-kontra. Utuy pernah teringat, kawannya
bilang “Sayang Tuy, lu masih muda. Manfaatkan aja.”.
Maksud kawannya Utuy, mumpung masih muda, kenapa kita malu-malu berbuat
hal-hal yang “menyenangkan”. Nanti kalau sudah tua, baru kita tobat.
Kalau Utuy sedang meronda keliling Jakarta, berpapasan dengan
muda-mudi yang asyik menyelami pasangan mereka masing-masing,
berangkulan mesra, tukar menukar jigong, saling pegang daerah
istimewanya, Utuy langsung beristighfar. “Ya Rabb, semoga saya selalu
bisa berkhusnudzon bahwa muda-mudi itu adalah pasangan suami-istri yang
sah”.
Pertama, karena tindakan itu hanya pantas dilakukan suami-istri.
Kedua, biarpun begitu, tetap saja tidak boleh dilakukan secara vulgar di
depan umum. Ketiga adalah kemungkinan terburuk. Kalau seandainya mereka
bukan pasangan suami-istri, alangkah kasihannya nanti para suami dan
istri mereka mendapati pasangannya ternyata “segel”-nya sudah pernah
dibuka orang.
Utuy pun melihat, ada kecenderungan permisif di kalangan bangsa
Indonesia. Ada artis porno dari luar negeri, tidak diapa-apain. Ada
penyanyi vulgar, artis vulgar, dan lain-lain dianggap biasa saja karena
bagian dari seni. Seni yang berarti kebebasan berekspresi. Kebebasan
yang berarti bertindak semau gue. Yang berarti juga menindas hak-hak orang lain.
Lalu, Utuy juga tidak paham, apa variabel-variabel yang membatasi
kebebasan itu sendiri. Apakah berarti kebebasan itu juga bermakna
sebebas-bebasnya sehingga tidak ada lagi ruang bagi privasi itu sendiri.
Tidak ada lagi nilai yang mengikat. Tidak ada lagi kriteria yang
menghakimi suatu tindakan itu terpuji atau tidak. Kalau begitu caranya,
apa tidak akan menimbulkan chaos sebab orang punya penafsiran sendiri-sendiri tentang kebebasan.
Orang jadi bebas buka-bukaan di depan umum. Katanya seni. Orang jadi bebas misuh-misuh/mengumpat/menganjing-anjingkan
orang lain atas dasar kebebasan berekspresi, kebebasan mengungkapkan
curahan hatinya yang paling dalam.
Dulu, ada muda-mudi jalan berdua di tempat sepi, sudah digrebek
warga. Mereka diinterogasi di pos kamling bersama penonton satu kampung.
Walau ternyata setelah ditelisik, kedua muda-mudi itu saudara kandung.
Dulu wanita menunduk kalau berjalan. Takut sorot matanya melunglaikan
seorang pria. Tapi sekarang, bukan hanya matanya yang kedap-kedip,
tapi dadanya, bokongnya, betisnya, tambah dipajang supaya dilihat. Dulu
kumpul kebo itu memalukan sekali. Sekarang biasa saja. Malahan sekarang
banyak yang senang ”kumpul” dengan kebo beneran.
Dalam budaya liberal, semua jadi hak asasi. Jadi kalau seandainya Utuy nyicipi adiknya
Kiblay yang cantik itu, asal sama-sama suka, itu dibilang hak asasi.
Jadi, hak asasi sudah bukan berarti membela yang tertindas, tapi sudah
menindas orang lain. Atas nama hak asasi, semua orang boleh saja
menabrak social values.
Kalau sudah begini, kita bisa apa?
Bukan lantas era globalisasi menghendaki hidup bangsa ini menjadi westernized. Konon kabarnya, kalau gaya penampilan sudah berbau-bau Eropa, berarti sudah modern. Padahal kan di Eropa juga banyak ndeso-nya. Jangan kira di Amerika sono, hanya ada orang kaya saja. Di sana, gembel seperti Utuy bukan main banyaknya. Bahkan lebih gembel ketimbang gembel Indonesia.
Utuy pernah mendengar salah satu kawan sepergembelannya yang pernah
dinas ke Eropa. Di Eropa sana, orang biasa tukar-menukar pasangan. Utuy
sempat shock, ketika kawan gembelnya bercerita bahwa suami di
sana sukarela “menggilir” istrinya untuk orang lain. Begitu juga istri
mereka, bisa-bisa kita juga dapat ”giliran”. Utuy dalam hati nyeletuk ”Ini sama saja Piala Eropa yang diperebutkan bergilir”. Lah kok tega-teganya para suami itu. Apa mereka tidak sayang istri mereka?
”Apa ini yang namanya kebebasan?” Utuy berteriak dalam hati. Tubuhnya
bergidik seperti habis melihat kuntilanak main ayunan di depan taman
kompleks GMG. Ia menangis tersedu-sedu. Ia bertekad, tak akan beristri
yang segelnya sudah rusak. Ia mau mencari tambatan hari yang bisa
qurrota ’ayuni. Sejuk dipandang, damai di hati.
Dalam masyarakat sekuler, agama jadi urusan masing-masing. Itu
terserah pandangan mereka. Dalam benak orang liberal, batasan tidak
boleh mengekang atau mendzhalimi. Bahkan mereka jelas-jelas memplesetkan
ayat Tuhan bahwa agama rahmat bagi semesta alam. Berarti rahmat bagi
para lesbi, bagi para gay, bagi para suami yang hobi selingkuh, bagi
para muda-mudi yang menjual harga dirinya, bagi para bandit, para
pencoleng para koruptor…Itu juga terserah pandangan mereka.
”Masya Allah. Ya Rabb. Biarkan aku dikatakan ndeso,
kampungan, konservatif, tidak modern, terbelakang, asalkan Engkau
menjaga hatiku tetap lurus kepada-Mu ya Rabb. Dengan beribadah saja pun,
aku tak yakin mampu menembus Syurga-Mu. Apalagi kalau ditambah
bermaksiat. Pastilah aku lebih dekat pada neraka-Mu.”
”Ampuni aku Ya Rabb” wajah Utuy menunduk. Matanya berkaca-kaca.
No comments:
Post a Comment