Monday 27 December 2010

Murnikan Dakwah Dengan Al-Qur’an Dan As-Sunnah

Murni artinya tidak bercampur dengan unsur lain, tidak ternoda, suci dan sejati. Memurnikan berarti membersihkan, meluruskan, menjernihkan. Dakwah yang kita kibarkan panjinya di Harakah penuh berkah ini adalah dakwah kemurnian. Dakwah yang berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah yang murni.Murni dan suci dalam bertauhid, Murni dan suci dalam beribadah, berakhlak, bermu`amalah dan berdakwah.
Tidak ada kompromi dengan segala noda dalam upaya menegakkan agama Alloh. Tidak ada persatuan di atas genangan rawa penuh noda. Walaupun persatuan penting, tetapi harus berlandaskan tauhid dan sunnah yang murni. Tidak mungkin istana berdiri menjulang, bila dasar bangunannya kubangan rawa yang dalam.
Istilah lain dari upaya pemurnian sering disebut tajdid. Secara bahasa, kata tajdîd berasal dari bahasa Arab, jaddayajiddu artinya memperbaharui sesuatu sebagaimana semula. Dalam bahasa Arab sesuatu dikatakan jadîd(baru) apabila bagian-bagiannya masih jelas dan masih erat menyatu. Maka, upaya tajdîdadalah upaya mengembalikan keutuhan dan kemurnian Islam. Tajdid berarti kembali kepada pokok atau keaslian Islam, menghidupkan apa yang dulu pernah ada tetapi ditinggalkan, membersihkan Islam dari noda-noda yang menutupinya. Mengembalikan orbit kehidupan pada orbit ittiba’ sunnah kenabian.
Menurut Ibn Asyir, tajdid (pemurnian) agamadirealisasikan dengan mereformasi kehidupan manusia di dunia. Pertama, sisi pemikirannya, berupaya mengembalikan pemahaman yang benar terhadap agama sebagaimana mestinya (agama yang dibawa Rasulullah dan para sahabatnya). Kedua, sisi pengamalannya dengan meluruskan kembali amalan-amalannya. Ketiga, sisi upaya menguatkan kekuasaan agama.” (Ibn Asyir,Tahqiqat wa Anzhar fî al-Qur’ân wa as-Sunnah)
Sejarah telah memberi banyak pelajaran. Apabila ittiba tidak dikawal, maka jadilah awal kehancuran. Kaum Nuh, ketika tidak lagi berittiba’, tenggelam. Khilafah yang berdiri ratusan tahun, ketika lepas dari prinsip ittiba, runtuh. Perluasan wilayah yang seharusnya menebar benih tauhid, hanya menjadi perluasan “kesyirikan”.
Kita harus waspada dengan para pemalsu kemurnian. Yaitu orang-orang yang mengaku-ngaku, mengusung jargon kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah akan tetapi jauh panggang dari api. Di antara ciri-ciri golongan ini antara lain; Menafsirkan al-Qur’an secara asal, kadang berdasarkan pikirannya semata, kadang mentok pada pendapat tokoh organisasainya. Standar keselamatan seseorang ikut organisasinya, bukan pada kemurnian manhaj. Sibuk menebar cap kafir pada orang per orang, bukannya sibuk menjadikan orang agar beriman.
Dakwah yang tidak di bangun di atas kemurnian adalah dakwah kepalsuan. Mengobral cita-cita palsu. Penipuan besar terhadap umat. Menebar iming-iming sebatas dunia. Semisal perkataan, bila khilafah tegak, niscaya BBM tidak akan naik. Atau bila partai dakwah berkuasa, rakyat akan makmur sejahtera. Atau dakwah kekuasaan yang melupakan kemurnian, sibuk mengotori diri demi peraihan maslahat duniawi, sementara maslahat dien dibenamkan dalam-dalam. Ini adalah maslahat mulgho, syad (tercela). Atau dakwah yang berusaha menjadikan Indonesia layaknya Iraq dan Afghanistan. Ini semua dakwah apa? Syarat mutlak dakwah yang benar adalah harus berdiri kokoh di atas kemurnian. Serasi sejalan dengan dakwah Rasulullah SAW. Dakwah yang berittiba’.
Selain pemalsu kemurnian, ada juga penoda kemurnian, dan ini jauh lebih busuk. Tidak ada sedikitpun kebaikan yang bisa diharapkan. Para ulama sampai-sampai menyebut para penoda ini bukan lagi bagian dari kaum muslimin alias keluar dari Islam. Diantaranya adalah kaum liberal, syiah dan ghullatus suffiyah.
Para du’at di jalan Allah tidak cukup berkoar-koar tentang da’wah, namun pada sisi lain mencair dalam masyarakat jahiliyyah. Atau hanyut dalam setting hiburan, tertawa tak jelas maksudnya, dan ujungnya tidak memberikan bekas apa-apa pada umat kecuali sebuah kesimpulan, sang ustad lucu. Da’wah seperti itu tidak bermanfaat dan tidak bernilai. Mereka mestinya tampil beda, tampil mencerahkan. Benar-benar yang disampaikan adalah permasalahan mendasar. Kokoh, kukuh, teguh memegang kemurnian.
Sejak permulaan sejarahnya,Islam telah memiliki tradisi menjaga kemurnian. Kemurnian adalah adat umat Islam sepanjang zaman. Semua nabi dan pengikut para nabi mendakwahkan kemurnian. Semua sibuk menjaga kemurnian. Pejuang kemurnian dikenal seluruh alam. Seluruh penduduk langit memuji dan mendoakan.
 “Sesungguhnya Allah akan mengutus kepada ummat ini di setiappenghujung 100 tahun seseorang yang akan melakukan tajdîd (memperbaharui, memurnikan) agamanya”.(HR. Abu Dawud)
Ibnul Qayyim rahimahullâh memberi penjelasan: “Di setiap awal atauakhir dari periode 100 tahun kehidupan manusia, yakni ketika ilmu dan sunnah menjadi sedikit, kebodohan serta perbuatan bid’ah merajalela, Allah SWT akan mengutus kepada ummat ini seseorang yang akan menjelaskan sunnah dari perbuatan bid’ah dan akan memperbanyak ilmu serta ikut menolong para ahli ilmu dan mengecilkan posisi ahli bid’ah serta menyelisihinya. (Ibnu Qayyim Al Jauziyyah,‘Aun al-Ma’bûd Syarah Sunan Abî Dâwud)
Kita di zaman yang sangat membutuhkan para pejuang kemurnian. Sebanyak-banyaknya pejuang. Sebab, semakin waktu berlalu, kebutuhan itu semakin melonjak. Rasulullah SAW memberi isyarat:
“Tidaklah datang kepada kalian suatu hari atau suatu zaman melainkan sesudahnya lebih buruk dari sebelumnya, hingga kalian berjumpa dengan Rabb kalian.”(HR. Ibnu Hiban, sanadnya sahih).
Umat hari ini telah lama terkapar dalam ketidakmurnian. Mungkin karena sudah kelamaan ”enjoy” hidup di belantara lumpur noda. Selanjutnya ”pandai” beradaptasi, lalu terbius dan meyakini bahwa memang sudah semestinya mereka nrimo hidup tanpa pernah lagi berusaha menyucikan diri dan umat. Awalnya hanya terpaksa menjadi gelandangan berlumur kotoran, lama kelamaan sukarela meyakini dan tumbuh mentalitas gelandangan di dalam jiwa. Berjalan ke sana sini tidak tentu tujuannya.
Padahal, muslim sejati adalah mereka yang tidak sedikitpun berkompromi dengan nilai-nilai dan sistem jahiliyyah yang mendominasi. Sibuk menjalankan program berdasarkan arahan dan bimbingan wahyu Allah dan supervisi Nabi Muhammad. Lurus, kencang penuh semangat lagi tak mudah terlemahkan.
Saudaraku, marilah kita pastikan diri ikut dalam program menjemput datangnya periode cerah di atas kemurnian. Berjalan berdasarkan petuah wahyu, mengikuti jejak Nabi dan para sahabatnya. Jangan malah terlibat dalam program-program tawaran manusia yang sedang terlena dengan noda-noda sambil menyangka dan meyakini bahwa itulah jalan yang bisa mendatangkan kejayaan Islam.
Tegaknya Khilafah di atas kemurnian tidak mungkin mengandalkan negosiasi di meja perundingan dengan kaum kuffar yang sedang menguasai dunia dewasa ini. Atau mengharapkan perjuangan ini laksana melewati taman-taman bunga indah, apalagi sekedar mengandalkan judi "permainan kotak suara".
Saudaraku, kembalinya kejayaan Islam menuntut pengorbanan luar biasa. Boleh jadi mengakibatkan tetesan air mata bahkan kucuran darah karena harus menempuh jalan yang telah ditempuh Nabi dan para sahabatnya. Yaitu ad-Da’wah al-Islamiyyah, yang murni dengan al-Qur’an dan as-Sunnah.
 Ya Allah, masukkanlah kami ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang terdaftar sebagai pasukan pejuang kemurnian. Ya Allah, berilah kami salah satu dari dua kebaikan’isy kariiman (hidup mulia di atas kemurnian) atau mati syahiidan (mati syahid dengan penuh hormat dalam menegakkan kemurnian). Aamiin.

Perayaan Natal Dan Tahun Baru Adalah Syi'ar Agama Kafir

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang Maha Esa. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Nabi terakhir, Muhammad bin Abdillah, keluarga dan sahabatnya.
Sesunguhnya setiap umat memiliki hari besarnya masing-masing untuk mengenang dan menghidupkan moment tertentu atau untuk mengungkapkan kebahagiaan, kesenangan, dan syukur yang sifatnya berulang setiap tahun.

Allah mengetahui kecenderungan yang ada dalam diri manusia ini. karenanya Dia memberi petunjuk untuk mengapresiasikannya dengan cara yang mulia. Yaitu dengan mengingatkan hikmah penciptaan, tugas manusia, dan ibadah kepada Allah.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tiba di Madinah, penduduk Madinah memiliki dua hari raya yang mereka bermain-main (bersenang-senang) di dalamnya. Lalu beliau bertanya, ‘Dua hari apa ini?’ Mereka menjawab, ‘Dua hari yang kami bermain-main di dalamnya pada masa Jahiliyah.’ Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya Allah telah mengganti untuk kalian dua hari tersebut dengan Idul Adha dan Idul Fitri’.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad).
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berkata kepada Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu, “Hai Abu Bakar, setiap kaum memiliki hari raya, dan inilah hari raya kita.” (HR. Bukhari).
Dua hadits ini menjadi dalil bahwa hari raya umat Islam hanya dua tersebut. Berbeda dengan hari raya selainnya, baik yang bersifat keagamaan, kenegaraan, atau dunia.
Banyak sekali nas syar’i yang menerangkan karakteristik umat ini yang berbeda dengan umat, agama, dan kelompok lainnya, agar menjadi umat terbaik. Umat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagai rasul terakhir dengan kitab suci Al-Qur’an.
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imran: 110).
Umat ini adalah umat terbaik. Dalam hadits Mu’awiyah bin Haidah berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Kalian adalah penyempurna tujuh puluh umat. Kalian yang terbaik dan paling mulia di mata Allah ‘Azza wa jalla.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan al-Hakim).
Beliau bersabda lagi, “Penghuni surga ada 120 baris. Sedangkan umat ini sebanyak 80 barisnya.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad).
Namun kenyataannya, pada zaman ini banyak umat Islam yang tidak memahami posisi dan kedudukan mereka. Malahan mereka tertarik dengan perayaan hari Natal dan tahun baru yang menjadi syi’ar agama Kristen. Hal ini disebabkan tidak adanya pemahaman yang benar dan lemahnya ikatan aqidah mereka. Sehingga mereka terkadang ikut-ikutan dengan budaya dan tradisi orang kafir, antara lain:
  1. Saling mengucapkan selamat hari raya, saling kirim kartu lebaran baik melalui pos atau internet.
  2. Ikut serta memeriahkan hari Raya Natal di gereja, hotel, gedung serba guna, atau melalui media elektronik.
  3. Membeli pohon Natal dan memasang patung Sinterklas (Santa Claus) yang katanya mencintai anak-anak dengan membagi-bagikan hadiah sejak malam Natal hingga malam tahun baru.
  4. Bermaksiat, melakukan kejahatan, dan mabuk-mabukan pada malam tahun baru serta bentuk-bentuk lainnya.
Pada zaman ini banyak umat Islam yang tidak memahami posisi dan kedudukan mereka. Malahan mereka tertarik dengan perayaan hari Natal dan tahun baru yang menjadi syi’ar agama Kristen.
Hari raya Natal dan tahun baru tidak boleh dijadikan sebagai hari yang dirayakan oleh umat Islam dengan dua alasan:
Pertama, mengandung nilai keagamaan yang kufur. Yaitu menyandangkan sifat tuhan kepada Al-Masih Isa bin Maryam, reinkarnasi, memberhalakan Isa, menganggapnya sebagai anak Allah, disalib, dan keyakinan batil lainnya.
Kedua, mengandung nilai kefasikan, berbuat seenaknya, berakhlak seperti binatang yang tak pantas ditiru manusia, terlebih oleh orang beriman.
Natal mengandung nilai keagamaan yang kufur. Yaitu menyandangkan sifat tuhan kepada Al-Masih Isa bin Maryam, reinkarnasi, memberhalakan Isa, menganggapnya sebagai anak Allah, disalib, dan keyakinan batil lainnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sangat tegas melarang ritual seperti ini. Dalam hadits shahih disebutkan, ada seseorang bernazar di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menyembelih unta di Bawwanah –yaitu nama suatu tempat-, ia lalu mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata: “Aku bernazar untuk menyembelih unta di Bawwanah.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Apakah di sana ada berhala jahiliyah yang disembah?” Mereka berkata: “Tidak.” Beliau bertanya lagi: “Apakah di sana dilakukan perayaan hari raya mereka?” Mereka berkata: “Tidak.” Beliau bersabda: “Tunaikanlah nazarmu, sesungguhnya tidak boleh menunaikan nazar yang berupa maksiat kepada Allah dan yang tidak mampu dilakukan oleh anak Adam.” (HR. Abu Dawud dan sanadnya sesuai syarat as-Shahihain).
Dari Abdullah bin Amru bin ‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, berkata:
مَنْ بَنَى بِبِلاَدِ الأَعَاجِمِ وَصَنَعَ نَيْرُوزَهُمْ وَمِهْرَجَانَهُمْ وَتَشَبَّهَ بِهِمْ حَتَّى يَمُوتَ وَهُوَ كَذَلِكَ حُشِرَ مَعَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
”Barangsiapa yang tinggal di negeri orang-orang kafir, meramaikan peringatan hari raya nairuz (tahun baru) dan karnaval mereka serta menyerupai mereka sampai meninggal dunia dalam keadaan demikian. Ia akan dibangkitkan bersama mereka di hari kiamat.” (HR. Al-Baihaqi dalam Sunannya: IX/234). [PurWD/voa-islam.com]

Memahami Bid'ah

Bid‘ah ( Bahasa Arab ) dalam agama Islam berarti sebuah perbuatan yang tidak pernah diperintahkan maupun dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW tetapi banyak dilakukan oleh masyarakat sekarang ini. Hukum dari bid'ah ini adalah haram. Perbuatan dimaksud ialah perbuatan baru atau penambahan dalam hubungannya dengan peribadatan dalam arti sempit (Ibadah Mahdhah), yaitu ibadah yang tertentu syarat dan rukunnya.
Pemakaian kata tersebut di antaranya ada pada :
  • Firman Allah ta’ala : بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ
” (Dialah Allah) Pencipta langit dan bumi.” (Q.s.2:117)
  • Firman Allah ta’ala : قُلْ مَا كُنتُ بِدْعاً مِّنْ الرُّسُلِ
” Katakanlah (hai Muhammad), “ Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rosul-rosul.” (Q.s:46:9)
  • Perkataan اِبتدع فلانٌ بدعة
Maknanya: Dia telah merintis suatu cara yang belum pernah ada yang mendahuluinya.
  • Perkataan هذاأمرٌبديعٌ
Maknanya: sesuatu yang dianggap baik yang kebaikannya belum pernah ada yang menyerupai sebelumnya. Dari makna bahasa seperti itulah pengertian bid’ah diambil oleh para ulama.
  1. Jadi membuat cara-cara baru dengan tujuan agar orang lain mengikuti disebut bid’ah (dalam segi bahasa).
  2. Sesuatu perkerjaan yang sebelumnya belum pernah dikerjakan orang juga disebut bid’ah (dalam segi bahasa).
  3. Terlebih lagi suatu perkara yang disandarkan pada urusan ibadah (agama) tanpa adanya dalil syar’i (Al-Qur’an dan As-Sunnah) dan tidak ada contohnya (tidak ditemukan perkara tersebut) pada zaman Rosulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam maka inilah makna bid’ah sesungguhnya.

Secara umum, bid'ah bermakna melawan ajaran asli suatu agama (artinya mencipta sesuatu yang baru dan disandarkan pada perkara agama/ibadah).
Para ulama salaf telah memberikan beberapa definisi bidah. Definisi-definisi ini memiliki lafadl-lafadlnya berbeda-beda namun sebenarnya memiliki kandungan makna yang sama.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, bidah dalam agama adalah perkara yang dianggap wajib maupun sunnah namun yang Allah dan rasul-Nya tidak syariatkan. Adapun apa-apa yang Ia perintahkan baik perkara wajib maupun sunnah maka harus diketahui dengan dalil-dalil syariat.
Imam Syathibi, bid'ah dalam agama adalah Satu jalan dalam agama yang diciptakan menyamai syariat yang diniatkan dengan menempuhnya bersungguh-sungguh dalam beribadah kepada Allah.
Ibnu Rajab, bidah adalah mengada-adakan suatu perkara yang tidak ada asalnya dalam syariat. Jika perkara-perkara baru tersebut bukan pada syariat maka bukanlah bidah, walaupun bisa dikatakan bidah secara bahasa
Imam as-Suyuthi, beliau berkata, bidah adalah sebuah ungkapan tentang perbuatan yang menentang syariat dengan suatu perselisihan atau suatu perbuatan yang menyebabkan menambah dan mengurangi ajaran syariat.
Dengan memperhatikan definisi-definisi ini akan nampak tanda-tanda yang mendasar bagi batasan bidah secara syariat yang dapat dimunculkan ke dalam beberapa point di bawah ini :
  1. Bahwa bidah adalah mengadakan suatu perkara yang baru dalam agama. Adapun mengadakan suatu perkara yang tidak diniatkan untuk agama tetapi semata diniatkan untuk terealisasinya maslahat duniawi seperti mengadakan perindustrian dan alat-alat sekedar untuk mendapatkan kemaslahatan manusia yang bersifat duniawi tidak dinamakan bidah.
  2. Bahwa bidah tidak mempunyai dasar yang ditunjukkan syariat. Adapun apa yang ditunjukkan oleh kaidah-kaidah syariat bukanlah bidah, walupun tidak ditentukan oleh nash secara khusus. Misalnya adalah apa yang bisa kita lihat sekarang: orang yang membuat alat-alat perang seperti kapal terbang,roket, tank atau selain itu dari sarana-sarana perang modern yang diniatkan untuk mempersiapkan perang melawan orang-orang kafir dan membela kaum muslimin maka perbuatannya bukanlah bidah. Bersamaan dengan itu syariat tidak memberikan nash tertentu dan rasulullah tidak mempergunakan senjata itu ketika bertempur melawan orang-orang kafir. Namun demikian pembuatan alat-alat seperti itu masuk ke dalam keumuman firman Allah taala, Dan persiapkanlah oleh kalian untuk mereka (musuh-musuh) kekuatan yang kamu sanggupi. Demikian pula perbuatan-perbuatan lainnya. Maka setiap apa-apa yang mempunyai asal dalam sariat termasuk bagian dari syariat bukan perkara bidah.
  3. Bahwa bidah semuanya tercela (hadits Al 'Irbadh bin Sariyah dishahihkan oleh syaikh Al Albani di dalam Ash Shahiihah no.937 dan al Irwa no.2455)
  4. Bahwa bidah dalam agama kadang-kadang menambah dan kadang-kadang mengurangi syariat sebagaimana yang dikatakan oleh Suyuthi di samping dibutuhkan pembatasan yaitu apakah motivasi adanya penambahan itu agama. Adapun bila motivasi penambahan selain agama, bukanlah bidah. Contohnya meninggalkan perkara wajib tanpa udzur, maka perbuatan ini adalah tindakan maksiat bukan bidah. Demikian juga meninggalkan satu amalan sunnah tidak dinamakan bidah.
Bidah merupakan pelanggaran yang sangat besar dari sisi melampaui batasan-batasan hukum Allah dalam membuat syariat, karena sangatlah jelas bahwa hal ini menyalahi dalam meyakini kesempurnaan syariat. Menuduh Rasulullah Muhammad SAW menghianati risalah, menuduh bahwa syariat Islam masih kurang dan membutuhkan tambahan serta belum sempurna. Jadi secara umum dapat diketahui bahwa semua bid'ah dalam perkara ibadah/agama adalah haram atau dilarang sesuai kaedah ushul fiqih bahwa hukum asal ibadah adalah haram kecuali bila ada perintah dan tidaklah tepat pula penggunaan istilah bid'ah hasanah jika dikaitkan dengan ibadah atau agama sebagaimana pandangan orang banyak, namun masih relevan jika dikaitkan dengan hal-hal baru selama itu berupa urusan keduniawian murni misal dulu orang berpergian dengan unta sekarang dengan mobil, maka mobil ini adalah bid'ah namun bid'ah secara bahasa bukan definisi bid'ah secara istilah syariat dan contoh penggunaan sendok makan, mobil, mikrofon, pesawat terbang pada masa kini yang dulunya tidak ada inilah yang hakekatnya bid'ah hasanah. Dan contoh-contoh perkara ini tiada lain merupakan bagian dari perkara Ijtihadiyah.

Penjelasan lainnya Insya Allah di kesempatan yang lain. Jazakumullah khairan katsyiran.

Saturday 25 December 2010

Hari Raya Umat Islam (Idul Fitri Dan Idul Adha)

Hari Raya Umat Islam
Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid Al Atsari
Definisi dan Makna Hari Raya Ied
Hari Raya ialah semua hari yang didalamnya terdapat sekumpulan orang. Adapun kata al ‘Id merupakan pecahan kata dari : ‘aada ya’uudu, yang memiliki arti : “seakan-akan mereka kembali kepadanya”. Dan ada yang mengatakan, bahwa pecahan katanya dari : al ‘aadah, yang artinya : “karena mereka membiasakannya.” Dan bentuk jamaknya : a’yaad.
Dikatakan : ‘ayyadal muslimun, artinya : “mereka menghadiri hari raya mereka.”

Ibnu A’rabi berkata,”Dikatakan al-‘Id itu, ‘Id (hari raya) karena kegiatan itu berulang setiap tahunnya dengan kegembiraan yang baru.” (Lisanul ‘Arab 3/319)

Berkata ‘al Allamah Ibnu ‘Abidin, “Dinamakannya ‘Id (hari raya) itu, karena pada diri ALLAH Ta’ala memiliki berbagai macam kebaikan atau aneka ragam kebaikan yang kembali kepada hamba-hambaNya di setiap harinya. Diantaranya : berbuka setelah dicegah dari makan, sedekah/zakat fitrah, menyempurnakan ibadah haji dengan Thawaf, ziarah, daging sembelihan dan yang lainnya, karena kebiasaan yang ada didalamnya terdapat keceriaan dan kegembiraan serta semangat. [1]

Rahmat Allah bagi Umat Islam dengan Dua Hari Raya (Idul Fithri dan Adha)
Dari Anas Radliallahu ‘anhu ia berkata : "Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah sedang penduduknya memiliki dua hari raya dimana mereka bersenang-senang di dalamnya di masa jahiliyah [2]. Maka beliau bersabda (yang artinya) : “Aku datang pada kalian sedang kalian memiliki dua hari yang kalian besenang-senang di dalamnya pada masa jahiliyah. Sungguh Allah telah menggantikan untuk kalian yang lebih baik dari dua hari itu yaitu : hari Raya Kurban dan hari Idul Fithri". (Hadits Shahih, dikeluarkan oleh Ahmad (3/103,178,235), Abu Daud (1134), An-Nasa’i (3/179) dan Al-Baghawi (1098).

Berkata Syaikh Ahmad Abdurrahman Al-Banna : "Maksudnya : Karena hari Idul Fihtri dan hari raya Kurban ditetapkan dengan syariat Allah Ta’ala, merupakan pilihan Allah untuk mahluk-Nya dan karena keduanya mengikuti pelaksanaan dua rukun Islam yang agung yaitu Haji dan Puasa, serta didalamnya Allah mengampuni orang-orang yang melaksanakan ibadah haji dan orang-orang yang berpuasa, dan Dia menebarkan rahmat-Nya kepada seluruh mahluk-Nya yang taat. Adapun hari Nairuz dan Mahrajan merupakan pilihan para pembesar pada masa itu. Penyebab ditentukannya hari itu sebagai hari raya buat mereka adalah karena pada kedua hari itu situasi kondisi, suhu udara dan selainnya dari keistimewaan yang akan sirna. Perbedaan antara dua keistimewaan antara Idul Fithri dan Idul Adha dengan hari Nairuz dan Mahrajan sangat jelas bagi siapa yang mau memperhatikannya". [Fathur Rabbani 6/119].
Footnote :
[1] Kegembiraan dan kenikmatan. Lihat Hasyiyah Ibnu ‘Abidin (2/165), ketahuilah wahai saudaraku sesama muslim – semoga ALLAH memberi taufik kepadaku dan kepadamu untuk selalu mentaatiNya – bahwa perayaan hari Raya yang disyariatkan ALLAH untuk hambaNya merupakan perkara yang telah diketahui/maklum dan ini adalah topik kitab yang ada di hadapan anda. Adapun di jaman ini, sesungguhnya perayaan yang diadakan hampir tidak dapat dibatasi jumlah di setiap negeri Islam, lebih-lebih selainnya. Sehingga anda akan jumpai perayaan itu diadakan untuk qubbah (bangunan yang dibangun di atas kuburan berbentuk kubah masjid – pent) dan kuburan, serta individu tertentu dan negeri serta selain itu yang merupakan perayaan yang tidak disyariatkan oleh ALLAH. Sehingga dijumpai pula di sebagian kaum muslimin yang berada di negeri India mereka mempunyai 144 hari raya setiap tahunnya. Lihat A’yaadul Islam (8).
[2] Yaitu hari Nairuz dan hari Mahrajan. Lihat "Aunul Ma’bud" (3/485) oleh Ath Thayib Al-Adhim Abadi (3/485).


(Dinukil dari "Ahkaamu Al’ Iidaini Fii Al-Sunnah Al-Muthahharah" Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari dan Syaikh Salim Al Hilali. Edisi Indonesia: "Tuntunan Ibadah Ramadhan dan Hari Raya" Penerbit Maktabah Salafy Press. Penerjemah ustadz Hannan Husein Bahannan)